Sejarah Kue Cangkiang, Jajanan Legendaris dari Agam Sejak Abad ke 18
share
Kue Cangkiang merupakan industri rumahan yang ada di Jorong Cangkiang, Nagari Batu Taba, Kecamatan Ampek Angkek, Agam-Sumbar.
Kue Cangkiang terdiri dari berbagai jenis produk yang merupakan ciri khas wilayah ini sejak dahulu, dan menjadi semacam hidangan wajib saat ada acara adat.
Secara fisik, jajanan ini lebih berbentuk kue kering, atau bahkan bisa disebut seperti kerupuk
Tak ada catatan pasti menyebut kapan industri ini dimulai. Namun, data yang dihimpun, kemungkinannya Kue Cangkiang diproduksi pertamakali antara tahun 1800-1850an.
Penemu Kue Cangkiang ini adalah seorang wanita tua bernama Enek Uniang.
Saat itu, di Cangkiang hiduplah seorang ulama besar yang kemudian menjadi Regent (Bupati) Agam Tuo Pertama. Namanya Fakih Shagir Syech Djalaluddin.
Penyebaran Islam sedang gencar-gencar terjadi di kawasan itu. Salah satu anak Fakih Shagir, Enek Uniang berangkat menunaikan ibadah haji ke Mekkah.
Ia pergi bertahun-tahun menggunakan kapal laut. Sepulang dari Mekkah, ia membuat berbagai olahan dari tepung beras dan pulut yang dicampur dengan telur itik atau ayam.
Kemudian, terciptalah beraneka resep olahan yang selanjutnya bernama Kue Roti Kariang, Kue Jari, Kue Dorong, Kue Arai Pinang, Kue Karambia. Semuanya memiliki rasa yang gurih dan enak.
Sadar akan potensi ekonominya, banyak warga mulai tertarik dan ikut memproduksinya.
Awalnya, rasa olahan itu masih hambar belum memakai gula pemanis. Setelah diberi pemanis, maka kue ini tambah laris dan kian diminati.
Salah satu khasnya, proses membuat kue ini diawali dengan menumbuk beras atau pulut lewat kincir air hingga menjadi tepung. Biasanya, yang menumbuk adalah kaum ibu-ibu.
Setelah jadi tepung, barulah dicampur dengan beraneka resep. Beberapa jenisnya, menggunakan cetakan. Saat semuanya selesai, barulah digoreng.
Dalam perkembangannya, produk olahan ini berhasil menembus pasar lokal.
Tahun 1942, Jepang masuk ke Agam. Untuk mengenang peristiwa ini, warga lokal kemudian mengembangkan lagi jenis Kue Cangkiang, tambahannya ada Kue Ranjau dan Kue Sakura.
Kue Cangkiang kemudian juga berkembang menjadi lebih dari 10 jenis. Kekinian, Kue Jari tak lagi diproduksi karena rumitnya cara pengolahan.
Periode 1950-1990an, hampir semua penduduk Cangkiang berprofesi sebagai pembuat kue.
"Saat itu kompor warga selalu menyala hingga malam karena membuatnya butuh proses yang panjang," ungkap salah seorang warga, Rizal St Mangkuto.
Kini, sebutnya, jumlah pembuat kue terus berkurang karena minimnya minat generasi muda untuk memproduksi serta harga bahan baku yang terus melambung.
Kendati demikian, kue ini masih bertahan di sejumlah pasar tradisional yang ada di Agam Timur.
Komentar
Posting Komentar